KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah–Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Ilmu Tanaman
Pakan Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Pengolahan Lahan dapat diselesaikan oleh
penulis.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas
terselesainya makalah
ini kepada Ir. Eny Fuskhah, M.Si
selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu
Tanaman Pakan, serta semua pihak
yang telah membantu penulis sehingga terselesainya
makalah ini.
Penulis menyadari akan kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini,
maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Harapan kami ke depan agar
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua mahasiswa dan kepada pihak-pihak yang
membutuhkan.
Akhirnya
penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas perhatian dan
koreksi dari berbagai pihak semoga budi baik beliau dibalas oleh-Nya.
Semarang,
18 Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL....................................................................................... i
KATA
PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I.... PENDAHULUAN .......................................................................... 1
............... 1.1.
Latar Belakang Masalah............................................................. 1
............... 1.2.
Tujuan Penulisan........................................................................ 2
............... 1.3. Rumusan Masalah...................................................................... 2
BAB II . PEMBAHASAN.............................................................................. 3
............... 2.1.
Pengolahan Lahan...................................................................... 4
............... 2.2.
Jenis-Jenis Tanah........................................................................ 6
............... 2.3.
Teknologi
pengelolaan............................................................... 9
............... 2.4.
Peruntukan Lahan Kering.......................................................... 10
............... 2.5. Lahan
Kering Tanaman Pangan................................................. 10
BAB IV. KESIMPULAN................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Masalah lingkungan yang dihadapi dewasa ini pada dasarnya
adalah masalah pengolahan tanaman yang tidak sesuai dengan lahan dan produksi
yang didapatkan. Masalah itu timbul karena perubahan kondisi iklim yang menyebabkan
lahan itu kurang sesuai lagi untuk mendukung kesuburan tanah. Jika hal ini
tidak segera diatasi pada akhirnya berdampak kepada terganggunya kesejahteraan
para petani.
Kerusakan lahan yang terjadi dikarenakan kondisi cuaca yang ekstrim pada
umumnyamenyebabkan terjadinya degradasi bagi lahan. Kerusakan lahan ini telah
mengganggu proses alam, sehingga banyak fungsi dari lahan yang menyebabkan
tetumbuhan menjadi menurun atau kurang mengalami pertumbuhan dengan baik. Masalah
lahan tidak berdiri sendiri, tetapi selalu saling terkait erat.
Keterkaitan antara masalah satu dengan yang lain disebabkan karena sebuah
faktor merupakan sebab berbagai masalah, sebuah faktor mempunyai pengaruh yang
berbeda dan interaksi antar berbagai masalah dan dampak yang ditimbulkan
bersifat kumulatif. Masalah lahan yang saling terkait erat antara lain adalah
populasi manusia yang berlebih, polusi, penurunan jumlah sumberdaya, perubahan
lingkungan global dan kondisi cuaca ekstrim.
1.2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan ini adalah :
1. Untuk
mememnuhi tugas pertanggung jawaban laporan kepada dosen
2. Mengetahui
pengaruh dari pengolahan lahan terhadap tanaman pakan
3. Mengetahui
jenis tanah yan cocok untuk penanam rumput
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana pengolahan lahan yang tepat untuk
penanaman tanaman pakan?
2. Bagaimana pengaruh jenis tanah terhadap penanaman
tanaman rumput?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Pengolahan Lahan
Lahan atau tanah merupakan sumberdaya alam fisik yang
mempunyai peranan penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan atau
tanah diperlukan manusia untuk tempat tinggal dan hidup, melakukan kegiatan
pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Karena
pentingnya peranan lahan atau tanah dalam kehidupan manusia, maka
ketersediaannya juga jadi terbatas. Keadaan ini menyebabkan penggunaan tanah
yang rangkap (tumpang tindih), misalnya tanah sawah yang digunakan untuk
perkebunan tebu, kolam ikan atau penggembalaan ternak atau tanah hutan yang
digunakan untuk perladangan atau pertanian tanah kering.
Secara teoritis, lahan kering di
Indonesia dibedakan dalam dua kategori, yaitu lahan kering beriklim kering,
banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dan lahan kering beriklim basah,
banyak ditemui di kawasan barat Indonesia. Cukup banyak tipologi wilayah
pengembangan lahan kering yang terdapat di dua kategori tersebut. Namun wilayah
pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan
potensi dan dominasi vegetasinya (Bamualim, 2004)
Pendayagunaan lahan atau tanah
memerlukan pengelolaan yang tepat dan sejauh mungkin mencegah dan mengurangi
kerusakan dan dapat menjamin kelestarian sumber daya alam tersebut untuk
kepentingan generasi yang akan datang. Pada sistem lingkungan tanah,
usaha-usaha yang perlu dikerjakan ialah rehabilitasi, pengawetan, perencanaan
dan pendayagunaan tanah yang optimum (Handayani, 2003).
Pendayagunaan lahan atau tanah yang
kurang tepat akan menyebabkan lahan atau tanah tersebut menjadi rusak (kritis)
dan kehilangan fungsinya. Hilangnya fungsi produksi dari sumber daya tanah
dapat terus menerus diperbaharui, karena diperlukan waktu puluhan bahkan
ratusan tahun untuk pembentukan tanah tersebut.
Akhir-akhir ini masalah kerusakan
sumberdaya tanah, terutama tanah pertanian lahan kering didaerah aliran sungai
(DAS) bagian hulu, sudah mencapai tahap sangat mengkhawatirkan. Dari tahun
ketahun laju pertambahan kerusakan tanah semakin meningkat, diperkirakan luas
tanah yang rusak bertambah sekitar satu sampai dua persen setiap tahunnya (Handayani,
2003).
Apabila pengolahan tanah kering secara
lestari telah dikuasai masyarakat pedesaan, maka tidak akan ada kritis mata
pencaharian yang menyebabkan tanah menjadi kritis. Pengendalian teknologi
pengolahan tanah kering secara lestari adalah sederhana, tidak memerlukan
peralatan serba modern (canggih) dan pendidikan tinggi. Azas pengelolaan lahan
kering adalah menciptakan lingkungan perakaran yang dalam, mempertahankan
kemampuan tanah menyimpan air dan mengedarkan udara, tindakan terakhir adalah
memperkaya tanah dengan zat hara tersedia untuk
akar. Zat hara tersebut didapat dari pupuk buatan,
pupuk kandang (kotoran ternak) dan mulsa atau pupuk hijau.
Pemanfaatan lahan untuk pengembangan peternakan
menimbulkan isu-isu yang santer, pandangan tentang dampak ternak terhadap lahan
terpecah dalam dua kutub. Di satu pihak terdapat pandangan ekstrim yang
memandang ternak sebagai hama yang menimbulkan kerusakan sumber daya alam. Di
pihak lain terdapat keyakinan bahwa ternak justru dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan dan menjaga kesuburan tanah. Kedua pandangan tersebut sama-sama
mengandung kebenaran, karena ternak memang ibarat pisau bermata dua. Dengan
pengelolaan yang tepat ternak dapat dimanfaatkan, sebaliknya dapat menjadi
musibah kalau dikelola secara ceroboh (Handayani,
2003).
Di Indonesia, pandangan orang tentang hubungan
peternakan dengan lahan masih sangat bersimpang siur. Di satu pihak orang
berpendapat bahwa peternakan telah berkembang tanpa basis ekologi berada
ditangannya. Kelompok ini memandang keadaan ini sebagai suatu kelemahan.
Dipihak lain berkembang pendapat bahwa sifat tidak tergantung pada lahan
(non-land base) justru merupakan ciri kekuatan peternakan. Kekeliruan ini
terdapat di sementara kalangan di luar peternakan. Keadaan ini tidak dapat
dibiarkan berlarut-larut karena akan membawa kerugian kepada semua pihak.
Pergesekan kepentingan (conflict of interest) sudah
sering terjadi antar sub-sektor yang menuntut jurisdiksi terhadap lahan.
Masing-masing pihak menuntut secara maksimal lahan untuk pengembangan bidangnya
sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Permasalahan muncul
terutama di tingkat pelaksanaan, meskipun ketidakpastian tersebut juga sangat
mempersulit perencanaan pembangunan (Handayani, 2003).
2.2. Jenis-Jenis Tanah
2.2.1 Pengertian Tanah Alfisol
Tanah alfisol merupakan morfologi yang khas dari Alfosol dicirikan oleh horizon
eluviasi dan iluviasi yang jelas, yang mana horizon permukaan umumnya berwarna
terang karena dipengaruhi oleh beberapa jenis mineral seperti kuarsa yang dapat
mempengaruhi warna tanah Alfisol lebih terang. (Handayani,
2003). Perkembangan
struktur yang berbeda diantara horizon juga merupakan morfologi yang khas dari
Alfosol. Alfisol diartikan oleh horizon Argilik yaitu horizon B yang paling
sedikit mengandung 1,2 kali lielt lebih besar daripada liat diatasnya. Horizon
B utamanya Bt memperlihatkan struktur tersudut atau kubus, sedang sampai kuat.
(Handayani, 2003).
Tanah Alfisol memiliki struktur tanah yang liat. Liat yang tertimbun di
horizon bawah ini berasal dari horizon diatasnya dan tercuci ke bawah bersama
dengan gerakan air. Dalam banyak pola Alfisol digambar adanya perubahan tekstur
yang sangat jelas dalam jarak vertikal yang sangat pendek yang dikenal
Taksonomi Tanah (USDA, 1985) sebagai Abrupat Tekstural Chage (perubahan tekstur
yang sangat ekstrim)(Handayani, 2003). Tanah
Alfisol dilambangkan oleh tanah yang disebut Gray-Brown Podzolic dalam sistem
lama. Alfisol mempunyai permukaan abu-abu sampai coklat, kandungan basa sampai
sedang sampai besar dan mengandung horizon iluvial dimana menimbun lempung
silikat. Horizon ini disebut Argilik. Jika hanya terdapat lempung silikat dan
disbut natrik jika disamping lempung, lebih dari 15 % jenuh dengan natrium
dengan berstruktur tiang dan pilar. Horizon lempung umumnya lebih dari 35 %
jenuh basa. (Handayani, 2003). Pada tanah Alfisol terdapat penimbunan
liat di horizon bawah (horizon Argilik) dan mempunyai kejenuhan basa tinggi yaitu
lebih dari 35 % pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. (Handayani,
2003) pH
dalam tanah Alfisol seringkali berubah dengan meningkatnya kedalaman dan
kecenderungan lebih tinggi pada bagian bawah profil dan sejumlah bahan-bahan
glacial sampai ke suatu karbonat bebas dengan pH 8,0 lebih tinggi. Ini
menyebabkan berubahnya mobilitas elektroporetik koloid-koloid hasil
pelapukan-pelapukan kimia yang sementara ini umumnya dianggap bergerak ke bawah
namun juga berdimensi horizon, dimana terakhir berhubungan erat dengan
perkembangan akar. (Handayani, 2003).
Alfisol nampaknya mengalami pelapukan lebih hebat dari pada inseptisol
akan tetapi kurang daripada spodosol. Mereka sebagian besar terbentuk di daerah
lembah di bawah sisa-sisa tanaman hutan asli, walaupun kadang-kadang aslinya
rumput vegetasi. Sebagai tambahan pada tanah Gray-Brown Podzolic. Alfisol
mencakup sebagian besar area yang dulu disebut tanah Non Clasic Brown dan Gray
Wooded dan beberapa diantaranya disebut Palnosol, Half Bag dan Solodized
Solonetz. Pada umumnya, Alfisol adalah tanah yang sangat produktif kandungan
basa yang sedang sampai besar itu umumnya menguntungkan untuk menghasilkan
tanaman yang cukup besar. (Handayani, 2003). Tanah
dengan drainase yang baik akan berwarna kelabu dengan bercak-bercak kuning pada
lapisan air dan menguntungkan untuk satu peristiwa kimia . Besi dalam tanah
teroksidasi dan terhidrasi sehingga menjadi senyawa yang berwarna merah kuning.
Hal ini diketemukan pada tanah Alfisol karena tanah Alfisol ini merupakan tanah
dengan drainase yang baik. (Handayani, 2003).
2.2.2. Pengertian Tanah Ultisol
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di
Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25%
dari total luas daratan Indonesia (Prasetyo
dan Suriadikarta, 2006). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan
(21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua
(8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara
(53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar
hingga bergunung. Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang
bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan
sedimen masam. Luas tanah Ultisol berdasarkan bahan induknya disajikan pada
Tabel 1. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas. Hal ini karena
persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai kejenuhan basa yaitu
< 35% dan adanya horizon argilik, tanpa ada syarat tambahan lainnya.
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada
horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan
aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada
tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal
ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan
bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi
miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan
yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi
liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa
rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin
kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan
kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi,
kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Di Indonesia, Ultisol umumnya
belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan
untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada
skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu
penyebab
tidak terkelolanya tanah ini dengan baik (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
2.3. Teknologi pengelolaan
Ditinjau dari
luasnya, tanah Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan
pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini menghadapi
kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama
tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa kendala yang umum pada
tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH ratarata < 4,50, kejenuhan
Al tinggi, miskinkandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, dan kandungan
bahan organik rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut dapat diterapkan
teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan pemberian bahan organik (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
2.4. Peruntukan Lahan
Kering
Menurut
Soewardi (1985) bahwa cara-cara yang tepat untuk menggunakan lahan kering
secara operasional akan lebih berarti kalau peruntukan lahan dikelompokkan
sebagai berikut: 1) lahan kering tanaman pangan, 2) lahan kering tanaman
perkebunan, 3) padang rumput dan 4) lahan hutan (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
2.5. Lahan Kering
Tanaman Pangan
Pada lahan kering tanaman pangan maka tanaman pangan yang umum
berupa palawija (karena padi terutama ditanam disawah), prioritas kedua adalah
tanaman holtikultura, dengan demikian hijauan pakan untuk ternak berasal dari
limbah pertanian tanaman palawija, gulma, peperduan dan pepohonan. Peperduan
yang penting adalah merry gold, lantana camara, kaliandra dan lamtoro,
sedangkan pepohonan yang potensial adalah albizia, nangka, mindi dan
sebagainya. Hijauan unggul ditanam dibibir teras, lereng teras dan dibatas-batas
tanah, juga tebing-tebing dan selokan-selokan serta pinggir-pinggir jalan.
Dilahan semacam ini peternakan adalah bagian integral sistem usahatani dengan
klimaks berupa sistem ”agroforestry”. Ternak sangat berfungsi sebagai sumber
pupuk kandang sedangkan pemanfaatan sebagai ternak kerja menduduki tempat
kedua.
Pada lahan kering tanaman pangan terutama didaerah pegunungan
dengan tanaman sayur-mayur iklim sedang, maka dapat dikembangkan “ley sistem”
yaitu pergiliran penanaman sayuran dengan rerumputan ternyata menguntungkan
dipandang dari siklus hara maupun pengendalian hama penyakit tanaman. Namun
demikian cara semacam ini lebih layak kalau ternak yang dikembangkan adalah
sapi perah (Prasetyo dan Suriadikarta,
2006).
BAB III
KESIMPULAN
Penampang
tanah yang dalam dengan kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi menjadikan
tanah Ultisol dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis tanaman. Namun demikian,
faktor iklim dan relief perlu diperhatikan. Kendala pemanfaatan tanah Ultisol untuk
pengembangan pertanian adalah kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi, kandungan
hara dan bahan organik rendah, dan tanah peka terhadap erosi. Berbagai kendala
tersebut dapat diatasi dengan penerapan teknologi sepertipengapuran, pemupukan,
dan pengelolaan bahan organik. Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan
tanaman pangan lebih banyak menghadapi kendala dibandingkan dengan untuk
tanaman perkebunan. Oleh karena itu, tanah ini banyak dimanfaatkan untuk
tanaman perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri, terutama di
Sumatera dan Kalimantan. Selain itu pemanfaatan
lahan kering harus memperhatikan praktek konversi tanah seperti “model farm”
agar lahan tersebut dapat mendukung tani usaha serta pengembangan peternakan
ruminansia. Peternakan ruminansia sebagai bagian integral dari sistem usaha
tani terpadu, menghasilkan pupuk kandang (pupuk organik) yang dapat menyuburkan
lahan pertanian (usahatani) sehingga produktivitas uasaha tani meningkat. Dalam
penggunaan lahan kering secara operasional akan lebih berarti kalau peruntukan
lahan dikelompokkan sebagai : a) lahan kering tanaman pangan, b) lahan kering
tanaman perkebunan, c) padang rumput dan d) lahan hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, A., 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah
Kering. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan.
IPB, Bogor.
Handayani, I. P. 2003. Pengaruh Konversi Lahan Dan Lamanya Masa
Budidaya Tanaman Terhadap Sifat-Sifat Alfisol. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia
Volume 5 Hal 1-6. Universitas Bengkulu.
Prasetyo, B. H. Dan Suriadikarta, D. A. 2006. Karakteristik,
Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian
Lahan Kering Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (2). Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Balai Penelitian Tanah.
Bogor.