Jumat, 11 April 2014

Laporan Kimia Dasar Analisa Kuantitatif

LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM KIMIA DASAR



Disusun Oleh:
                                    Nama              : Ghina Meriyana Dewi
                                    NIM                : 23010111120036                                                   Kelompok            : II ( Dua )
                                    Asisten            : Shella Rosalina F.C








 













FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011


BAB I

PENDAHULUAN
            Analisa kuantitatif merupakan suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui banyaknya suatu zat yang ada dalam suatu sampel. Hal ini berhubungan erat dengan unsur pembentuk dalam sampel tersebut. Proses penambahan larutan standar ke dalam larutan yang ditentukan sampai terjadi reaksi yang sempurna disebut titrasi, menitrasi atau menitir. Penentuan kadar dalam sampel biasanya ditentukan kedalam dengan proses titrasi dengan menggunakan larutan standar.
            Larutan standar  yaitu larutan yang konsentrasinya telah diketahui secara teliti. Larutan standar yang bertindak sebagai indikator ditambah sedikit demi sedikit hingga terjadi perubahan pada larutan yang akan diteliti kandungan sampelnya. Perubahan ini dapat berupa perubahan warna atau terjadinya endapan pada sampel larutan. Saat terjadi perubahan pada titik ekuivalen disebut dengan saat akhir titrasi.
Tujuan dari praktikum kimia dengan materi peng enalan analisa kuntitatif adalah untuk mengenal metode anlisa kuantitatif dan menetapkan kadar asam cuka, serta mampu menerapkan reaksi asam-basa untuk menetapkan reaksi asam atau basa. Manfaat praktikum ini yaitu agar mahasiswa dapat mempraktekkan secara langsung dan mengetahui proses standarisasi NaOH berlangsung dan menghitung kadar asam cuka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Analisa Kuantitatif
            Analisa Kuantitatif merupakan suatu upaya untuk menguraikan atau memisahkan suatu kesatuan bahan menjadi komponen-komponen pembentukannya. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat  (Haryadi,1990). Dan pernyataan tersebut diperjelas oleh Day dan Underwood (1998) bahwa analisa kuantitatif merupakan suatu cara atau upaya sistematis yang dilakukan dengan jalan mengukur volume larutan yang konsentrasinya telah diketahui dengan teliti, serta untuk mengubah sesuatu menjadi lebih sederhana.
Biasanya untuk mengukur volume larutan standar tersebut, larutan standar harus ditambahkan melalui alat yang disebut biuret. Karena reaksi harus sempurna, maka saat reaksi sempurna sudah tercapai disebut saat ekuivalen atau saat stoikiometri yang biasanya dapat diketahui karena ada sesuatu yang tampak dalam larutan ini, yaitu perubahan warna atau terjadinya suatu endapan yang disebabkan oleh larutan standarnya itu sendiri atau karena adanya penambahan suatu larutan penunjuk atau indikator. Saat dimana proses titrasi harus dihentikan disebut saat akhir titrasi. Diharapkan saat ekuivalen sama dengan saat akhir titrasi. Tetapi pada kenyataanya, kedua saat tersebut sulit dicapai secara bersamaan. Selain reaksi harus kuantitatif juga harus berjalan cepat, sebab bila reaksinya lambat titik ekuivalen sulit diamati. Reaksi dapat dipercepat dengan pemanasan, pengadukan atau penambahan katalisator (Day dan Underwood, 1998).
2.2. Macam-macam Analisa Kuantitatif
            Analisa kuantitatif ada beberapa macam diantaranya volumetri, grafimetri dan instrumental. Analisa titrimetri berkaitan dengan pengukuran volume suatu larutan dengan konsentrasi yang telah diketahui yang diperlukan untuk bereaksi dengan analit. Analisa gravimetri pengukuran menyangkut pengukuran berat. Istilah analisa instrumental berhubungan dengan pemakaian peralatan khusus pada langkah pengukuran (Day dan Underwood, 1998).
2.2.1.   Volumetri
            Analisa volumetri juga dikenal sebagai trimetri, dimana zat yang akan dianalisa dibiarkan bereaksi dengan zat lain yang konsentrasinya diketahui dan dialirkan dari biuret dalam bentuk larutan (Khopkar, 1990).
Suatu analisis  kimia terdiri dari 4 tahapan yaitu pengambilan atau pencuplikan sampel, mengubah analit menjadi suatu bentuk yang sesuai untuk pengukuran, pengukuran, perhitungan dan penafsiran pengukuran (Day dan Underwood, 1998).


2.2.2.   Gravimetri
Analisa gravimetri pengukuran menyangkut pengukuran berat. Pada gravimetri biasanya didasarkan pada reaksi kimia seperti :
aA + rR               AaRr
Dimana a molekul analit, A bereaksi dengan r molekul reagennya R. Produknya, yakni AaRr biasanya merupakan suatu substansi yanng sedikit larut yang bisa ditimbang setelah pengeringan atau yang bisa dibakar menjadi senyawa lain yang komposisinya diketahui, untuk ditimbang (Day dan Underwood, 1998).

BAB III
MATERI DAN METODE
            Praktikum Kimia Dasar dengan materi pengenalan Analisa kuantitatif dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 08 Oktober 2011 pada pukul 12.30 sampai dengan pukul 14.30 WIB bertempat di Laboratorium Fisiologi dan Biokimia Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.
3.1.      Materi
Alat yang digunakan pada praktikum analisa kuantitatif antara lain: biuret berfungsi untuk mentitrasi larutan NaOH dan asam cuka, labu ukur 250 ml sebagai tempat pengencer asam cuka dan labu ukur 100 ml sebagai tempat pengencer larutan asam oksalat, erlenmeyer sebagai tempat pencampuran asam cuka yang diencerkan dan tiga tetes indikator fenolftalein, sedang erlenmeyer lain digunakan sebagai  tempat NaOH yang telah ditetesi tiga tetes indikator fenolftalein, penjepit atau statif sebagai tempat memasang tabung buret, pipet tetes untuk mengambil larutan NaOH dan fenolftalein, dan alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain indikator fenolftalein, larutan NaOH 0,1 N, larutan asam oksalat 0,1 N, larutan asam cuka Suka Sari dan aquades.


3.2.      Metode
3.2.1.      Standarisasi NaOH dengan larutan asam oksalat standar
Metode yang digunakan dalam praktikum analisa kuantitatif menentukan standarisasi NaOH dengan larutan asam oksalat adalah menimbang dengan tepat 0,63 gram asam oksalat kemudian melarutkan asam oksalat tersebut dengan aquades dan mengencerkan menjadi 100 ml dengan labu takar. Mengisikan larutan asam oksalat ke dalam buret , kemudian memasukkan 10 ml NaOH dan menambahkan air hingga volumenya 100 ml ke dalam erlenmeyer. Kemudian menambahkan tiga tetes indikator fenolftalein. Setelah itu, menitrasi larutan tersebut dengan asam oksalat standart sampai  warna merah indikator tepat hilang dan mencatat volume asam oksalat yang diperlukan. Melakukan titrasi tersebut sebanyak dua kali dan menghitung konsentrasi NaOH.
3.2.2.      Penetapan kadar asam cuka
Metode yang digunakan dalam praktikum analisa kuantitatif menentukan penetapan kadar asam cuka adalah pertama mengisikan larutan NaOH yang telah diketahui konsentrasinya ke dalam buret, kemudian mengambil 10 ml asam cuka dan mengencerkan menjadi 250 ml dengan labu takar. Mengambil 10 ml asam cuka yang telah diencerkan dan memasukkan ke dalam erlenmeyer, menambahkan tiga tetes indikator fenolftalein. Menitrasi larutan tersebut dengan larutan NaOH sampai timbul warna merah muda yang tetap. Mengulangi langkah tersebut sebanyak dua kali untuk erlenmeyer yang lain serta mencatat volume NaOH yang diperlukan dan menghitung kadar asam cuka.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Standarisasi NaOH dengan Larutan Asam Oksalat
Berdasarkan hasil praktikum standarisasi NaOH larutan asam oksalat dapat diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil standarisasi NaOH dengan larutan asam oksalat
Titrasi
Volume Asam Oksalat (ml)
Titrasi I
9,5
Titrasi II
10
Rata-rata
9,75
Sumber: Data Primer Praktikum Kimia Dasar, 2011
Berdasarkan percobaan yang telah laksanakan pada praktikum standarisasi NaOH diperoleh normalitas NaOH sebesar 0,0975 N. Normalitas NaOH 0,0975 N didapat dari perhitungan antara titrasi I dengan titrasi II, dimana NaOH sebagai analit yang beraksi dengan asam oksalat sebagai pereaksi. Asam oksalat  merupakan  peraksi yang disebut juga titran. Percobaan ini sesuai dengan pernyataan ( Day dan Underwood, 1998) yang menyatakan bahwa analisa dengan metode titrimetri didasarkan pada reaksi kimia : aA + tT              produk, dimana a molekul analit A, bereaksi dengan t molekul pereaksi T. Asam oksalat  merupakan  peraksi T yang ditambahkan dalam biuret secara kontinu dalam wujud larutan yang konsentrasinya telah diketahui yang disebut titran.
Pada penambahan PP, terbentuk warna merah muda karena larutan bersifat basa dan indikator memberikan warna merah muda. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Khopkar, 1990) bahwa semua metode yang dilakukan  dengan cara titrimetri tergantung pada larutan standar yang mengandung sejumlah reagen persatuan volume  larutan dengan ketetapan yang tinggi.  Konsentrasi dinyatakan dalam normalitas (g.ek/l).  
4.2.Pengukuran Kadar Asam Cuka
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Pengukuran Kadar Asam Cuka
Titrasi
Volume NaOH (ml)
Titrasi I
8
Titrasi II
9
Rata-rata
8,5
Sumber: Data Primer Praktikum Kimia Dasar, 2011

Berdasarkan percobaan yang telah laksanakan pada praktikum pengukuran kadar asam cuka diperoleh hasil kadar asam cuka sebesar 12,75 % dalam cuka merk “Sukasari”. Hal ini disebabkan karena perhitungan asam cuka pada normalitas asam cuka yang belum diencerkan belum diketahui dan normalitas asam cuka setelah diencerkan belum diketahui.
Percobaan ini bila reaksi positif maka titik akhir titrasi ditandai dalam perubahan warna larutan dari bening menjadi merah muda yang tetap, hal ini sesuai dengan pendapat (Khopkar, 1990) bahwa sebagian besar titrasi asam basa dilakukan dalam kamar, kecuali titrasi yang meliputi basa-basa yang mengandung karbondioksida. Temperatur mempengaruhi titrasi asam basa, pH dan perubahan warna indikator  tergantung secara tidak langsung pada temperatur. Pendapat tersebut diperjelas oleh ( Day dan Underwood, 1998) yang menyatakan bahwa ada sejumlah besar asam dan basa yang dapat ditentukan oleh titrimetri, dan pada umumnya titran adalah larutan standar dari elektrolit kuat.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil  percobaan yang telah dilaksanakan pada praktikum adapun kesimpulan yang didapat dalam  percobaan  mengenai  analisa kuantitatif  merupakan suatu upaya untuk menguraikan atau memisahkan suatu kesatuan bahan menjadi komponen-komponen pembentukannya. Penentuan kadar dalam sampel biasanya ditentukan kedalam dengan proses titrasi dengan menggunakan larutan standar. Larutan standar  yaitu larutan yang konsentrasinya telah diketahui secara teliti, sedangkan titrasi merupakan salah satu cara analisa kuantitatif yang berdasarkan volume bahan yang diperlukan untuk mencapai equivalen. Analisa kuantitatif ada beberapa macam diantaranya volumetri, grafimetri dan instrumental.
            Pada standarisasi NaOH reaksi sempurna ditandai dengan adanya suatu perubahan warna yang disebabkan oleh larutan itu sendiri atau karena adanya penambahan suatu larutan petunjuk. Pada titrasi asam cuka dengan NaOH sebagai larutan standar akan dihasilkan garam yang berasal dari asam lemah dan basa kuat.


5.2. Saran
            Dalam praktikum diharapkan agar perlengkapan untuk dilengkapi karena ada beberapa alat praktikum yang belum terlengkapi. Sehingga praktikum dapat terlaksana dengan baik. 
DAFTAR PUSTAKA
Day, R.A and A.L Underword. 1998. Analisa Kuantitatif. USA. Pruntice Hall Inc (diterjemahkan oleh Lis Sopyan)
Haryadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta. Gramedia.
Sudarmadji, Slamet. 1989. Analisa Bahan Makanan Pertanian.Jogjakarta.Liberty.
Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analisa. Jakarta. Universitas Indonesia Pers (diterjemahkan oleh A. Saptorahardjo dan Agus Nurhadi)
Peterucci, H. Ralph 1987. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern Jilid 3. Jakarta. Erlangga

LAMPIRAN
Perhitungan Normalitas NaOH
              .       =  
      0,1 x 9,75              =          .10
            0,975               =          10
                                =          0,0975 N
Keterangan :
V1 = Rata-rata titrasi Asam Oksalat
N1 = Normalitas Asam Oksalat
V2 = Volume NaOH
N2 = Normalitas NaOH

Perhitungan Kadar Asam Cuka :
            Kadar Asam Cuka      =          ( V1 x N x B x P ) / V2 x 1000
                                                =          ( 8,5 x 0,1 x 60 x 25 ) / 10 x 1000
                                                =          1275 / 10000 x 100%
                                                =          12,75 %

Keterangan :
C    = Kadar Asam Cuka
V1  = Rata-rata titrasi NaOH
V2  = Volume Asam Cuka yang dititrasi
N   = Normalitas NaOH
B    = Berat Molekul Asam Cuka (60)
P    = Faktor Pengenceran (10)


Kamis, 02 Mei 2013

MAKALAH ILMU TANAMAN PAKAN PENGARUH JENIS TANAH TERHADAP PENGOLAHAN LAHAN



 

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah–Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Ilmu Tanaman Pakan Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Pengolahan Lahan dapat diselesaikan oleh penulis.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas terselesainya makalah ini kepada Ir. Eny Fuskhah, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah Ilmu Tanaman Pakan, serta semua pihak yang telah membantu penulis sehingga terselesainya makalah ini. Penulis menyadari akan kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Harapan kami ke depan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua mahasiswa dan kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian  dan koreksi dari berbagai pihak semoga budi baik beliau dibalas oleh-Nya.

Semarang, 18 Juli 2012

                                                                                                            Penulis



DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I.... PENDAHULUAN .......................................................................... 1
............... 1.1. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
............... 1.2. Tujuan Penulisan........................................................................ 2
............... 1.3. Rumusan Masalah...................................................................... 2       
BAB II . PEMBAHASAN.............................................................................. 3       
............... 2.1. Pengolahan Lahan...................................................................... 4
............... 2.2. Jenis-Jenis Tanah........................................................................ 6
............... 2.3. Teknologi pengelolaan............................................................... 9
............... 2.4. Peruntukan Lahan Kering.......................................................... 10
............... 2.5. Lahan Kering Tanaman Pangan................................................. 10
BAB IV. KESIMPULAN................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar belakang
Masalah lingkungan yang dihadapi dewasa ini pada dasarnya adalah masalah pengolahan tanaman yang tidak sesuai dengan lahan dan produksi yang didapatkan. Masalah itu timbul karena perubahan kondisi iklim yang menyebabkan lahan itu kurang sesuai lagi untuk mendukung kesuburan tanah. Jika hal ini tidak segera diatasi pada akhirnya berdampak kepada terganggunya kesejahteraan para petani.
            Kerusakan lahan yang terjadi dikarenakan kondisi cuaca yang ekstrim pada umumnyamenyebabkan terjadinya degradasi bagi lahan. Kerusakan lahan ini telah mengganggu proses alam, sehingga banyak fungsi dari lahan yang menyebabkan tetumbuhan menjadi menurun atau kurang mengalami pertumbuhan dengan baik. Masalah lahan tidak berdiri sendiri, tetapi  selalu saling terkait erat. Keterkaitan antara masalah satu dengan yang lain disebabkan karena sebuah faktor merupakan sebab berbagai masalah, sebuah faktor mempunyai pengaruh yang berbeda dan interaksi antar berbagai masalah dan dampak yang ditimbulkan bersifat kumulatif. Masalah lahan yang saling terkait erat antara lain adalah populasi manusia yang berlebih, polusi, penurunan jumlah sumberdaya, perubahan lingkungan global dan kondisi cuaca ekstrim.

1.2.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1.    Untuk mememnuhi tugas pertanggung jawaban laporan kepada dosen
2.    Mengetahui pengaruh dari pengolahan lahan terhadap tanaman pakan
3.    Mengetahui jenis tanah yan cocok untuk penanam rumput

1.2.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah : 
1. Bagaimana pengolahan lahan yang tepat untuk penanaman tanaman pakan? 
2. Bagaimana pengaruh jenis tanah terhadap penanaman tanaman rumput?



BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      Pengolahan Lahan
 Lahan atau tanah merupakan sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan penting dalam segala kehidupan manusia, karena lahan atau tanah diperlukan manusia untuk tempat tinggal dan hidup, melakukan kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Karena pentingnya peranan lahan atau tanah dalam kehidupan manusia, maka ketersediaannya juga jadi terbatas. Keadaan ini menyebabkan penggunaan tanah yang rangkap (tumpang tindih), misalnya tanah sawah yang digunakan untuk perkebunan tebu, kolam ikan atau penggembalaan ternak atau tanah hutan yang digunakan untuk perladangan atau pertanian tanah kering.
Secara teoritis, lahan kering di Indonesia dibedakan dalam dua kategori, yaitu lahan kering beriklim kering, banyak terdapat di kawasan timur Indonesia, dan lahan kering beriklim basah, banyak ditemui di kawasan barat Indonesia. Cukup banyak tipologi wilayah pengembangan lahan kering yang terdapat di dua kategori tersebut. Namun wilayah pengembangan lahan kering yang dominan di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya (Bamualim, 2004)
Pendayagunaan lahan atau tanah memerlukan pengelolaan yang tepat dan sejauh mungkin mencegah dan mengurangi kerusakan dan dapat menjamin kelestarian sumber daya alam tersebut untuk kepentingan generasi yang akan datang. Pada sistem lingkungan tanah, usaha-usaha yang perlu dikerjakan ialah rehabilitasi, pengawetan, perencanaan dan pendayagunaan tanah yang optimum (Handayani, 2003).
Pendayagunaan lahan atau tanah yang kurang tepat akan menyebabkan lahan atau tanah tersebut menjadi rusak (kritis) dan kehilangan fungsinya. Hilangnya fungsi produksi dari sumber daya tanah dapat terus menerus diperbaharui, karena diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk pembentukan tanah tersebut.
Akhir-akhir ini masalah kerusakan sumberdaya tanah, terutama tanah pertanian lahan kering didaerah aliran sungai (DAS) bagian hulu, sudah mencapai tahap sangat mengkhawatirkan. Dari tahun ketahun laju pertambahan kerusakan tanah semakin meningkat, diperkirakan luas tanah yang rusak bertambah sekitar satu sampai dua persen setiap tahunnya (Handayani, 2003).
Apabila pengolahan tanah kering secara lestari telah dikuasai masyarakat pedesaan, maka tidak akan ada kritis mata pencaharian yang menyebabkan tanah menjadi kritis. Pengendalian teknologi pengolahan tanah kering secara lestari adalah sederhana, tidak memerlukan peralatan serba modern (canggih) dan pendidikan tinggi. Azas pengelolaan lahan kering adalah menciptakan lingkungan perakaran yang dalam, mempertahankan kemampuan tanah menyimpan air dan mengedarkan udara, tindakan terakhir adalah memperkaya tanah dengan zat hara tersedia untuk
akar. Zat hara tersebut didapat dari pupuk buatan, pupuk kandang (kotoran ternak) dan mulsa atau pupuk hijau.
Pemanfaatan lahan untuk pengembangan peternakan menimbulkan isu-isu yang santer, pandangan tentang dampak ternak terhadap lahan terpecah dalam dua kutub. Di satu pihak terdapat pandangan ekstrim yang memandang ternak sebagai hama yang menimbulkan kerusakan sumber daya alam. Di pihak lain terdapat keyakinan bahwa ternak justru dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dan menjaga kesuburan tanah. Kedua pandangan tersebut sama-sama mengandung kebenaran, karena ternak memang ibarat pisau bermata dua. Dengan pengelolaan yang tepat ternak dapat dimanfaatkan, sebaliknya dapat menjadi musibah kalau dikelola secara ceroboh (Handayani, 2003).
Di Indonesia, pandangan orang tentang hubungan peternakan dengan lahan masih sangat bersimpang siur. Di satu pihak orang berpendapat bahwa peternakan telah berkembang tanpa basis ekologi berada ditangannya. Kelompok ini memandang keadaan ini sebagai suatu kelemahan. Dipihak lain berkembang pendapat bahwa sifat tidak tergantung pada lahan (non-land base) justru merupakan ciri kekuatan peternakan. Kekeliruan ini terdapat di sementara kalangan di luar peternakan. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan membawa kerugian kepada semua pihak.
Pergesekan kepentingan (conflict of interest) sudah sering terjadi antar sub-sektor yang menuntut jurisdiksi terhadap lahan. Masing-masing pihak menuntut secara maksimal lahan untuk pengembangan bidangnya sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab masing-masing. Permasalahan muncul terutama di tingkat pelaksanaan, meskipun ketidakpastian tersebut juga sangat mempersulit perencanaan pembangunan (Handayani, 2003).

2.2.      Jenis-Jenis Tanah
2.2.1    Pengertian Tanah Alfisol
Tanah alfisol merupakan morfologi yang khas dari Alfosol dicirikan oleh horizon eluviasi dan iluviasi yang jelas, yang mana horizon permukaan umumnya berwarna terang karena dipengaruhi oleh beberapa jenis mineral seperti kuarsa yang dapat mempengaruhi warna tanah Alfisol lebih terang. (Handayani, 2003). Perkembangan struktur yang berbeda diantara horizon juga merupakan morfologi yang khas dari Alfosol. Alfisol diartikan oleh horizon Argilik yaitu horizon B yang paling sedikit mengandung 1,2 kali lielt lebih besar daripada liat diatasnya. Horizon B utamanya Bt memperlihatkan struktur tersudut atau kubus, sedang sampai kuat. (Handayani, 2003). 
Tanah Alfisol memiliki struktur tanah yang liat. Liat yang tertimbun di horizon bawah ini berasal dari horizon diatasnya dan tercuci ke bawah bersama dengan gerakan air. Dalam banyak pola Alfisol digambar adanya perubahan tekstur yang sangat jelas dalam jarak vertikal yang sangat pendek yang dikenal Taksonomi Tanah (USDA, 1985) sebagai Abrupat Tekstural Chage (perubahan tekstur yang sangat ekstrim)(Handayani, 2003). Tanah Alfisol dilambangkan oleh tanah yang disebut Gray-Brown Podzolic dalam sistem lama. Alfisol mempunyai permukaan abu-abu sampai coklat, kandungan basa sampai sedang sampai besar dan mengandung horizon iluvial dimana menimbun lempung silikat. Horizon ini disebut Argilik. Jika hanya terdapat lempung silikat dan disbut natrik jika disamping lempung, lebih dari 15 % jenuh dengan natrium dengan berstruktur tiang dan pilar. Horizon lempung umumnya lebih dari 35 % jenuh basa. (Handayani, 2003). Pada tanah Alfisol terdapat penimbunan liat di horizon bawah (horizon Argilik) dan mempunyai kejenuhan basa tinggi yaitu lebih dari 35 % pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. (Handayani, 2003) pH dalam tanah Alfisol seringkali berubah dengan meningkatnya kedalaman dan kecenderungan lebih tinggi pada bagian bawah profil dan sejumlah bahan-bahan glacial sampai ke suatu karbonat bebas dengan pH 8,0 lebih tinggi. Ini menyebabkan berubahnya mobilitas elektroporetik koloid-koloid hasil pelapukan-pelapukan kimia yang sementara ini umumnya dianggap bergerak ke bawah namun juga berdimensi horizon, dimana terakhir berhubungan erat dengan perkembangan akar. (Handayani, 2003). 
Alfisol nampaknya mengalami pelapukan lebih hebat dari pada inseptisol akan tetapi kurang daripada spodosol. Mereka sebagian besar terbentuk di daerah lembah di bawah sisa-sisa tanaman hutan asli, walaupun kadang-kadang aslinya rumput vegetasi. Sebagai tambahan pada tanah Gray-Brown Podzolic. Alfisol mencakup sebagian besar area yang dulu disebut tanah Non Clasic Brown dan Gray Wooded dan beberapa diantaranya disebut Palnosol, Half Bag dan Solodized Solonetz. Pada umumnya, Alfisol adalah tanah yang sangat produktif kandungan basa yang sedang sampai besar itu umumnya menguntungkan untuk menghasilkan tanaman yang cukup besar. (Handayani, 2003). Tanah dengan drainase yang baik akan berwarna kelabu dengan bercak-bercak kuning pada lapisan air dan menguntungkan untuk satu peristiwa kimia . Besi dalam tanah teroksidasi dan terhidrasi sehingga menjadi senyawa yang berwarna merah kuning. Hal ini diketemukan pada tanah Alfisol karena tanah Alfisol ini merupakan tanah dengan drainase yang baik. (Handayani, 2003).

2.2.2.   Pengertian Tanah Ultisol
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung. Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan induk, dari yang bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan induk tanah ini adalah batuan sedimen masam. Luas tanah Ultisol berdasarkan bahan induknya disajikan pada Tabel 1. Di antara grup Ultisol, Hapludults mempunyai sebaran terluas. Hal ini karena persyaratan klasifikasinya hanya didasarkan pada nilai kejenuhan basa yaitu < 35% dan adanya horizon argilik, tanpa ada syarat tambahan lainnya.
Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Erosi merupakan salah satu kendala fisik pada tanah Ultisol dan sangat merugikan karena dapat mengurangi kesuburan tanah. Hal ini karena kesuburan tanah Ultisol sering kali hanya ditentukan oleh kandungan bahan organik pada lapisan atas. Bila lapisan ini tererosi maka tanah menjadi miskin bahan organik dan hara. Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi merupakan salah satu
penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

2.3.      Teknologi pengelolaan
Ditinjau dari luasnya, tanah Ultisol mempunyai potensi yang tinggi untuk pengembangan pertanian lahan kering. Namun demikian, pemanfaatan tanah ini menghadapi kendala karakteristik tanah yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman terutama tanaman pangan bila tidak dikelola dengan baik. Beberapa kendala yang umum pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH ratarata < 4,50, kejenuhan Al tinggi, miskinkandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, dan kandungan bahan organik rendah. Untuk mengatasi kendala tersebut dapat diterapkan teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan pemberian bahan organik (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

2.4.      Peruntukan Lahan Kering
Menurut Soewardi (1985) bahwa cara-cara yang tepat untuk menggunakan lahan kering secara operasional akan lebih berarti kalau peruntukan lahan dikelompokkan sebagai berikut: 1) lahan kering tanaman pangan, 2) lahan kering tanaman perkebunan, 3) padang rumput dan 4) lahan hutan (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

2.5.      Lahan Kering Tanaman Pangan
Pada lahan kering tanaman pangan maka tanaman pangan yang umum berupa palawija (karena padi terutama ditanam disawah), prioritas kedua adalah tanaman holtikultura, dengan demikian hijauan pakan untuk ternak berasal dari limbah pertanian tanaman palawija, gulma, peperduan dan pepohonan. Peperduan yang penting adalah merry gold, lantana camara, kaliandra dan lamtoro, sedangkan pepohonan yang potensial adalah albizia, nangka, mindi dan sebagainya. Hijauan unggul ditanam dibibir teras, lereng teras dan dibatas-batas tanah, juga tebing-tebing dan selokan-selokan serta pinggir-pinggir jalan. Dilahan semacam ini peternakan adalah bagian integral sistem usahatani dengan klimaks berupa sistem ”agroforestry”. Ternak sangat berfungsi sebagai sumber pupuk kandang sedangkan pemanfaatan sebagai ternak kerja menduduki tempat kedua.
Pada lahan kering tanaman pangan terutama didaerah pegunungan dengan tanaman sayur-mayur iklim sedang, maka dapat dikembangkan “ley sistem” yaitu pergiliran penanaman sayuran dengan rerumputan ternyata menguntungkan dipandang dari siklus hara maupun pengendalian hama penyakit tanaman. Namun demikian cara semacam ini lebih layak kalau ternak yang dikembangkan adalah sapi perah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

BAB III
KESIMPULAN

Penampang tanah yang dalam dengan kapasitas tukar kation sedang hingga tinggi menjadikan tanah Ultisol dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis tanaman. Namun demikian, faktor iklim dan relief perlu diperhatikan. Kendala pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian adalah kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi, kandungan hara dan bahan organik rendah, dan tanah peka terhadap erosi. Berbagai kendala tersebut dapat diatasi dengan penerapan teknologi sepertipengapuran, pemupukan, dan pengelolaan bahan organik. Pemanfaatan tanah Ultisol untuk pengembangan tanaman pangan lebih banyak menghadapi kendala dibandingkan dengan untuk tanaman perkebunan. Oleh karena itu, tanah ini banyak dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Selain itu pemanfaatan lahan kering harus memperhatikan praktek konversi tanah seperti “model farm” agar lahan tersebut dapat mendukung tani usaha serta pengembangan peternakan ruminansia. Peternakan ruminansia sebagai bagian integral dari sistem usaha tani terpadu, menghasilkan pupuk kandang (pupuk organik) yang dapat menyuburkan lahan pertanian (usahatani) sehingga produktivitas uasaha tani meningkat. Dalam penggunaan lahan kering secara operasional akan lebih berarti kalau peruntukan lahan dikelompokkan sebagai : a) lahan kering tanaman pangan, b) lahan kering tanaman perkebunan, c) padang rumput dan d) lahan hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Bamualim, A., 2004. Strategi Pengembangan Peternakan pada Daerah Kering. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berwawasan Lingkungan. IPB, Bogor.

Handayani, I. P. 2003. Pengaruh Konversi Lahan Dan Lamanya Masa Budidaya Tanaman Terhadap Sifat-Sifat Alfisol. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia Volume 5 Hal 1-6. Universitas Bengkulu.

Prasetyo, B. H. Dan Suriadikarta, D. A. 2006. Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25 (2). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Balai Penelitian Tanah. Bogor.